Sunday, January 01, 2012

Selamatkan Bahasa Ibu dari Kepunahannya

Bahasa, bukan hanya sebagai kata yang berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan kehendak antar individu yang saling berinteraksi, tapi bahasa juga merupakan identitas diri suatu bangsa yang harus kita banggakan, pertahankan dan lestarikan serta kembangkan keberadaannya. Selain itu bahasa ibu juga merupakan alat ungkap kebudayaan dan jembatan antar generasi di dalam suatu bangsa. Bahasa ibu adalah bahasa yang telah sejak lama digunakan sebelum adanya bahasa nasional. Tapi sayangnya, bahasa ibu sudah mulai dilupakan keberadaannya.

UNESCO telah menetapkan setiap tanggal 21 Pebruari, sebagai hari bahasa ibu internasional. Ini menunjukkan bahawa pentingnya bahasa ibu untuk diperingati agar dapat selalu dipertahankan dan dilestarikan perkembangannya, agar tiap-tiap bangsa tidak akan kehilangan budaya dan identitas dirinya.

Berdasarkan keterangan dari UNESCO, diperkirakan bahwa, jika tidak ada yang dilakukan, setengah dari lebih dari 6000 bahasa yang diucapkan hari ini akan hilang pada akhir abad ini. di Indonesia, sekitar 90 persen dari 700-an bahasa ibu akan punah dalam waktu kurang dari 100 tahun. Hanya 13 bahasa ibu yang penuturnya di atas satu juta orang. Artinya, bahasa daerah lainnya berpenutur di bawah satu juta orang. Di antara 700-an bahasa ibu tersebut, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang.

Bahasa-bahasa yang tercancam punah itu tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Antara lain bahasa Lom (Sumatera) hanya 50 penutur. Di Sulawesi bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Punan Merah 137 penutur, Kareho Uheng 200 penutur. Wilayah Maluku bahasa Hukumina satu penutur, Kayeli tiga penutur, Nakaela lima penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif empat penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur. Selain itu, di Papua, sedikitnya ada sembilan bahasa yang dianggap sudah punah, yakni bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat).

Pada umumnya bahasa ibu yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak mempunyai tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang pada bahasa-bahasa minoritas ini jika tidak segera didokumentasikan maka akan sangat sulit untuk mempertahankan eksistensi mereka. Dengan hilangnya bahasa yang tidak tertulis dan tidak didokumentasikan, manusia akan kehilangan tidak hanya kekayaan budaya, tetapi juga pengetahuan penting yang ditanamkan leluhur, khususnya dalam bahasa pribumi.

Berdasarkan populasi pendukungnya, bahasa Jawa menempati urutan pertama dengan penutur 60 juta jiwa, bahasa sunda menempati urutan kedua dengan penutur 24 juta jiwa, sedangkan bahasa ibu lainnya dalam daftar urutan berikutnya.

Jumlah penutur secara signifikan berkaitan dengan keberlanjutan suatu bahasa daerah dengan catatan adanya pembudayaan dan pemberdayaan bahasa daerah tersebut secara turun-temurun. Bahasa ibu merupakan aset nasional bangsa yang tak terhingga jika para penuturnya menyadari betapa keberagaman bahasa itu penting, mempertahankan keberagaman bahasa erat kaitannya dengan stabilitas kesuksesan kemanusiaan.

Semakin punahnya bahasa ibu di Indonesia juga disebabkan karena minimnya pengguna bahasa ibu baik di rumah maupun di sekolah. Tayangan televisi dan siaran radio di Indonesia cenderung memunculkan campuran bahasa Indonesia dan bahasa asing, ditambah dengan adanya bahasa gaul yang tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak generasi muda Indonesia malu menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan mereka dan orangtua pun banyak yang sudah tidak berbicara menggunakan bahasa ibu lagi dalam keluarga. Banyak dari orang Indonesia berfikir bahwa penggunaan bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya lebih bergengsi dibandingkan menggunakan bahasa ibu. Langkanya penutur dalam bahasa ibu di Indonesia ini tentu saja semakin memicu punahnya bahasa ibu dan kebudayaan di Indonesia karena bahasa ibu merupakan bagian daripada kebudayaan itu sendiri. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya di jenjang pendidikan tingkat bawah juga semakin memicu kepunahan bahasa ibu di Indonesia.

Dalam Seminar TEFLIN di Bandung, 8 – 10 Oktober, 1992 telah direkomendasikan bahwa pengajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal pada waktu itu yang bersifat opsional agar diberikan di sekolah dasar mulai dari siswa kelas 4 hingga kelas 6 . Namun hal ini menyebabkan banyak pihak sekolah membuat kebijakan yang merekomendasikan bahasa Inggris sebagai bahasa penting di sekolah. Tentu saja hal ini mendorong orangtua murid menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang memiliki muatan bahasa Inggris dibandingkan ke sekolah yang merekomendasikan bahasa ibu sebagai muatan lokalnya.

Sejak tahun 1951, UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret pemertahanan dan pemberdayaan bahasa ibu. Menurut Crystal, 1997, pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain untuk:

1. Mewujudkan diversitas kultural,
2. Memelihara identitas etnis,
3. Memungkinkan adaptabilitas sosial,
4. Secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan
5. Meningkatkan kepekaan linguistis

Kelima tujuan di atas satu sama lain saling terkait dalam konteks kebudayaan. Karena itu, pemberdayaan bahasa ibu merupakan bagian dari strategi kebudayaan.
Dunia pendidikan sebagai medium pembelajaran dinilai sangat penting dalam usaha mempertahankan dan melestarikan bahasa ibu. Di Indonesia sudah ada beberapa daerah yang sekolah-sekolahnya memberikan pelajaran bahasa ibu, tetapi hal ini dinilai masih masih belum cukup dikarenakan lebih banyak daerah yang sekolah-sekolahnya belum memasukkan bahasa ibu sebagai pelajaran muatan lokalnya. Keluarga juga dapat membantu melestarikan bahasa ibu ini dengan mulai menggunakannya dalam komunikasi antar anggota keluarg dalam aktivitas sehari-hari. Pemerintah dapat melakukan menyuluhan kepada masyarakat agar mengembangkan penggunaan bahasa ibu melalui siaran televisi dan radio khususnya kepada generasi muda Indonesia. Pemerintah juga dapat melakukan pendataan dan penulisan serta pencetakkan buku-buku bahasa ibu agar memudahkan masyarakat untuk mempelajarinya.

Untuk menghindari punahnya bahasa ibu dan kebudayaan serta peradaban Indonesia, maka diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah, sekolah dan masyarakat untuk melestarikan dan mempertahankannya. Diperlukan adanya kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh untuk bekerjasama antar pihak yang terkait tersebut untuk melestarikan bahasa ibu di tiap daerah sehingga bangsa Indonesia tidak perlu kehilangan akar budayanya.